DEFINISI HUKUM
a. Immanuel Kant,Hukum adalah keseluruhan yarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain,menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
b. Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat,aturan yang daya penggunaannnya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama, jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
c. E.M Meyers, Hukum adalah aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,ditunjukan kepada tingkahlaku manusia dalam masyarakat,dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.
UNSUR_UNSUR HUKUM
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
2. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib
3. Peraturan itu bersifat memaksa
4. Sanksi dalam pelanggaran peraturan bersifat tegas
PENGGOLONGAN HUKUM
1. Hukum berdasarkan sumbernya :
a. hukum undang-undang
b. hukum kebiasaan
c. hukum traktat
d. hukum yurisprudensi
2. Hukum berdasarkan bentuknya :
a. Hukum tertulis yang terdiri dari hukum tertulis yang dkodefikasi dan yang tidak
dikodefikasi.
b. Hukum tidak tertulis
3. Hukum berdasrkan tempat berlakunya :
a. hukum nasional
b. hukum internasional
c. hukum asing
d. hukum gereja
4. Hukum berdasarkan waktu berlakunya :
a. Ius constitutum (hukum positif)
b. Ius Constituendum (hukum negatif)
c. Hukum asasi (hukum alam)
5. Hukum berdasarkan cara mempertahankannya :
a. hukum material
b. hukum formal
6. Hukum berdasarkan sifatnya
a. hukum yang memaksa
b. hukum yang mengatur
7. Hukum berdasarkan wujudnya :
a. hukum objektif
b. hukum sujektif
8. Hukum berdasarkan isinya :
a. hukum privat
b. hukum publik
Bentuk-bentuk Hukum Publik :hukum tata negara,hukum administrasi negara,hukum pidana,hukum acara,dan hukum internasional.
Bentuk-bentu Hukum Privat :hukum perorangan/pribadi,hkum keluarga,hukum kekayaan,hukum waris,hukum dagang,dan hukum adat.
SUMBER HUKUM
Sumber hukum dibedakan atas 2 sumber, yaitu;
1.Sumber hukum material yaitu keyakinan dan perasaan hukum individu dan pendapatyang menentukan isi/materi hukum yang berasal dari agama,kesusilaan,kehendak tuhan dan jiwa bangsa.
2.Sumber hukum formal yang merupakan bentuk/isi hukum material, terdiri dari undang-undang,kebiasaan/hukum tak tertulis,yurisprudensi,traktat dan doktrin hukum.
TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG_UNDANGAN DI INDONESIA
Menurut pasal 7 Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
DFINISI LEMBAGA PERADILAN
Lembaga Peradilan adalah lembaga negara yang yang mengawasi pelaksanaan dari suatu kaidah hukum.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung yang membawahi lembaga peradilan umum,peradilan agama,peradilan militer,dan peradilan tata usaha negara.
DASAR HUKUM LEMBAGA PERADILAN
Adapun yang menjadi dasar hukum terbentuknya lembaga-lembaga peradilan nasional adalah:
1.Pancasila terutama sila kelima,yaitu "Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia
2.UUD 1945 bab IX pasal 24 ayat 2 dan 3.
3.UU RI Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
4.UU RI Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
5.UU RI Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
6.UU RI Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
7.UU RI Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Hukum
8.UU RI Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
KLASIFIKASI LEMBAGA PERADILAN
1. Peradilan Sipil,terdiri atas :
a.Peradilan Negeri yang berkedudukan di ibukota kab/ kota
b.Peradilan Tinggi yang berkedudukan di ibukota propinsi
c.Mahkamah Agung yang berkedudukan di ibukota negara
2. Peradilan Khusus,yang meliputi :
a.Peradilan Agama,terdiri Pengadilan agama kab/kota dan Pengadilan Tinggi Agama
Propinsi
b.Peradilan Syariah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
c.Peradilan Tata Usaha Negara,terdiri dari:
Pengadilan Tata Usaha Negara kab/kota dan Propinsi
d.Mahkamah Konstitusi
3. Peradilan Militer,terdiri dari:
a.Pengadilan Militer
b.Pengadilan Militer Tinggi
c.Pengadilan Militer Utama
d.Pengadilan Militer Pertempuran
SIKAP YANG SESUAI DENGAN HUKUM
Kepatuhan hukum mengandung arti:
a.memahami dan menggunakan peraturan perundangan yang berlaku
b.mempertahankan tertib hukum yang ada
c.menegakkan kepastian hukum
Contoh perilaku yang mencerminkan kepatuhan hukum yang berlaku
a. di lingkungan keluarga : mematuhi perintah orang tua,ibadah tepat waktu,
menghormati anggota keluarga yang lain, dan melaksanakan aturan dalam keluarga.
b. di lingkungan sekolah : menghormati kepsek,guru dan karyawan,berseragam sekolah,
mengikuti KBM sesuai jadwal,patuh terhadap tata tertib.
c. di lingkungan Masyarakat: melaksanakan ronda, kerja bakti,membayar iuran warga,
melaksanakna norma dalam masyarakat,dan menghormati tetangga dll
d. di lingkungan bangsa dan negara :
tertib lalu lintas, memiliki KTP,ikut dalam pemilu, membayar pajak dll.
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
beberapa kondisi yang mendukung korupsi, diantaranya :
a.konsentrasi kekuasaan dan pengambilan keputusan yang tidak bertanggung jawab kepada
rakyat
b.kurangnya transparansi pengambilan keputusan pemerintah
c.proyek yang melibatkan uang rayat dalam jumlah besar
d.lemahnya ketertiban hukum
e.lemahnya profesi hukum
f.kurangnya kebebasan berpendapat/media massa
g.ketidakadaan pengawasan dlm mencegah penyuapan/kasus suap.
DASAR HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI
a.Pancasila, sila kelima yang dijiwai oleh semua sila
b.UUD 1945
c.UU RI Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
d.UU RI Nomor 26 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
KKN
e.UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Ri nomor 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi
f.UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi tindak pidana korupsi
g.Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam penegahan dan
pemberantasan korupsi.
GERAKAN ANTI KORUPSI
a. Komisi Pemberantasan Korupsi
b. Indonesia Corrupption Watch
c. Transpararency International (TI)
Minggu, 14 November 2010
Jumat, 06 Agustus 2010
HAKIKAT NEGARA
Dalam mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh berbagai macam istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi, federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus mengkategorikan masing-masing istilah tersebut?
Apa beda antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki? ‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan jangan kita surut, melainkan terus maju dengan membaca.
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbicara mengenai apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Definisi kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh. Dalam hal ini, pihak pemberi pengaruh dapat berwujud mono, few, atau many.
Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’, dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi.
Akhirnya, jika kita berbicara mengenai bentuk pemerintahan, berarti kita tengah berbicara mengenai kekuasaan dalam arti horizontal, khususnya seputar hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Legislatif dan eksekutif, dalam doktrin Trias Politika adalah setara, yang satu tidak lebih berkuasa atau lebih tinggi posisinya ketimbang yang lain. Dalam hubungan horizontal inilah kita akan menemui pembicaraan mengenai presidensil atau parlementer.
A. Jenis-Jenis Kekuasaan
1. Monarki dan Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar.
Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen, dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki.
Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu :
1. Jumlah warganegara harus kecil.
2. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
3. Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
4. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.
B. Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada.
1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut :
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.
Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut :
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.
3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi :
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.
Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan
Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami cantumkan 20 negara dari beragam belahan dunia.
Dari tabel di atas dapat kita sama-sama lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta kilometer persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali Indonesia, Mesir, dan Bolivia.
Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan. Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di masing-masing pulau tersebut memiliki budaya yang saling berbeda. Sementara Mesir dan Bolivia seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh berada di bawah jumlah penduduk Indonesia.
Anda pun dapat menganalisis khususnya sehubungan dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara dengan pemilihan bentuk negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia sendiri, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah diberi hak untuk menerapkan sistem hukum sendiri (syariat Islam), tetapi tetap tidak diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang, dan melakukan politik luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju bentuk negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda?
C. Bentuk Pemerintahan
Pengantar. Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di suatu negara.
Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya.
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu).
Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi).
Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum.
Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu sama lain.
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang secara 51%.
Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Suharto. Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut.
Jadi, berbeda dengan Parlementer di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung.
Apa beda antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki? ‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan jangan kita surut, melainkan terus maju dengan membaca.
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbicara mengenai apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Definisi kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh. Dalam hal ini, pihak pemberi pengaruh dapat berwujud mono, few, atau many.
Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’, dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi.
Akhirnya, jika kita berbicara mengenai bentuk pemerintahan, berarti kita tengah berbicara mengenai kekuasaan dalam arti horizontal, khususnya seputar hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Legislatif dan eksekutif, dalam doktrin Trias Politika adalah setara, yang satu tidak lebih berkuasa atau lebih tinggi posisinya ketimbang yang lain. Dalam hubungan horizontal inilah kita akan menemui pembicaraan mengenai presidensil atau parlementer.
A. Jenis-Jenis Kekuasaan
1. Monarki dan Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar.
Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen, dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki.
Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu :
1. Jumlah warganegara harus kecil.
2. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
3. Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
4. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.
B. Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada.
1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut :
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.
Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut :
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.
3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi :
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.
Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan
Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami cantumkan 20 negara dari beragam belahan dunia.
Dari tabel di atas dapat kita sama-sama lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta kilometer persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali Indonesia, Mesir, dan Bolivia.
Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan. Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di masing-masing pulau tersebut memiliki budaya yang saling berbeda. Sementara Mesir dan Bolivia seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh berada di bawah jumlah penduduk Indonesia.
Anda pun dapat menganalisis khususnya sehubungan dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara dengan pemilihan bentuk negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia sendiri, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah diberi hak untuk menerapkan sistem hukum sendiri (syariat Islam), tetapi tetap tidak diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang, dan melakukan politik luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju bentuk negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda?
C. Bentuk Pemerintahan
Pengantar. Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di suatu negara.
Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya.
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu).
Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi).
Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum.
Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu sama lain.
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang secara 51%.
Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Suharto. Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut.
Jadi, berbeda dengan Parlementer di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung.
Selasa, 27 Juli 2010
STRUKTUR SOSIAL
Definisi Struktur sosial
Struktur sosial adalah suatu tatanan yang terdapat dalam masyarakat yang terdiri dari unsur-unsur pokok yang saling terkait satu sama lain dalam mewujudkan keteraturan sosial.
unsur-unsur pokok tersebut antaralain : kelompok sosial, lembaga sosial, nilai dan norma, pranata sosial, lapisan sosial, diferensiasi sosial,dll.
Bentuk Struktur Sosial yang mendasar adalah :
a. Diferensiasi Sosial, yaitu perbedaan-perbedaan masyarakat secara horizontal.
yang dibedakan atas :
1.Diferensiasi sosial berdasarkan Ras. yaitu masyarakat dibedakan atas dasar ciri fisik yaitu seperti warna kulit terdiri atas ras Negroid, Mongoloid dan Kaukasoid.
2.Diferensiasi sosial berdasarklan agama, yaitu berdasarkan kepercayaan dan keyakinan. di Indonesia terdapat 5 agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Kristen Katolik,Kristen Protestan, Hindu dan Budha.
3.Diferensiasi sosial berdasarkan Suku bangsa,yaitu masyarakat dibedakan berdasarkan komunitas budaya seperti daerah asal,bahasa dan keseniannya.
4.Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin atau Gender, yaitu masyarakat dibedakan atas pria dan wanita dimana kedudukan atau derajatnya adalah sama.
b. Stratifikasi sosial,yaitu pelapisan sosial masyarakat secra hierarkis.
berdasarkan sifatnya dibedakan atas :
1. sistem stratifikasi sosial tertutup
2. sistem stratifikasi sosial terbuka
3. sistem stratifikasi sosial campuran.
Stratifikasi sosial terbentuk karena adanya sesuatu yang dihargai oleh masyarakat seperti kekayaan, keturunan,kekuasaan, pendidikan,profesi dan penghasilan.
Struktur sosial adalah suatu tatanan yang terdapat dalam masyarakat yang terdiri dari unsur-unsur pokok yang saling terkait satu sama lain dalam mewujudkan keteraturan sosial.
unsur-unsur pokok tersebut antaralain : kelompok sosial, lembaga sosial, nilai dan norma, pranata sosial, lapisan sosial, diferensiasi sosial,dll.
Bentuk Struktur Sosial yang mendasar adalah :
a. Diferensiasi Sosial, yaitu perbedaan-perbedaan masyarakat secara horizontal.
yang dibedakan atas :
1.Diferensiasi sosial berdasarkan Ras. yaitu masyarakat dibedakan atas dasar ciri fisik yaitu seperti warna kulit terdiri atas ras Negroid, Mongoloid dan Kaukasoid.
2.Diferensiasi sosial berdasarklan agama, yaitu berdasarkan kepercayaan dan keyakinan. di Indonesia terdapat 5 agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Kristen Katolik,Kristen Protestan, Hindu dan Budha.
3.Diferensiasi sosial berdasarkan Suku bangsa,yaitu masyarakat dibedakan berdasarkan komunitas budaya seperti daerah asal,bahasa dan keseniannya.
4.Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin atau Gender, yaitu masyarakat dibedakan atas pria dan wanita dimana kedudukan atau derajatnya adalah sama.
b. Stratifikasi sosial,yaitu pelapisan sosial masyarakat secra hierarkis.
berdasarkan sifatnya dibedakan atas :
1. sistem stratifikasi sosial tertutup
2. sistem stratifikasi sosial terbuka
3. sistem stratifikasi sosial campuran.
Stratifikasi sosial terbentuk karena adanya sesuatu yang dihargai oleh masyarakat seperti kekayaan, keturunan,kekuasaan, pendidikan,profesi dan penghasilan.
Minggu, 18 Juli 2010
PKN KLs XI : MODUL I, Budaya Politik
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
1.Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
2.Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
3.Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4.Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men¬dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Budaya politik berdasarkan Orientasinya
•Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah.
•Budaya politik kaula,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi.
•Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper¬padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a.Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b.Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men-ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
c. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
Demokratik Industrial :
Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
Sistem Otoriter:
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
Demokratis Pra Industrial:
Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
1.Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
2.Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
3.Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4.Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men¬dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Budaya politik berdasarkan Orientasinya
•Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah.
•Budaya politik kaula,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi.
•Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper¬padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a.Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b.Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men-ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
c. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
Demokratik Industrial :
Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
Sistem Otoriter:
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
Demokratis Pra Industrial:
Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan.
Langganan:
Postingan (Atom)